Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Perjalanan cerita Anda akan menjadi panjang apabila Anda memiliki catatan dan karya.

LKS Lunas Nilai Tuntas Bukan Slogan

Ketika menjadi murid, ingatkah seberapa persen dari isi buku yang dibeli dengan apa yang dipahami? Apakah sebanding dengan keringat orang tua untuk membeli buku yang kini sebagian besarnya hanya menumpuk di lemari atau mungkin sebagian lainya sudah terjual di perloakan sampah. Kemudian seberapa ingat ceramah-ceramah guru itu menempel di kepala? Ataukan hanya menempel saja, tapi tidak dilaksanakan. Namun itu lebih baik, dari pada seperti angin yang lewat saja karena tidak punya ktp. Lantas, berapa banyak nama guru yang masih diingat? Guru-guru itu apakah yang mereka ramah, galak atau yang pada saat ujian "silahkan diskusi, tapi jangan ramai."

Melihat keberagaman fenomena di dalam pendidikan, salah satu yang menarik adalah tentang etika murid kepada guru serta kewajiban guru kepada murid. Merupakan salah satu kewajiban dari seorang murid kepada gurunya ialah memiliki etika dan sopan santun, baik itu saat bertemu atau pun saat tidak. Namun kadang, pada beberapa kondisi bisa saja membuat seorang murid tidak lagi mempedulikan etika dan sopan santun yang dijunjung-junjung itu. Kepada mereka, guru yang hanya sebuah nama tidak layak rasanya untuk memberikannya secara terus menerus. Bukanya membikin para murid menjadi terdidik, guru yang hanya nama itu hanya membikin murid mencari kesibukanya sendiri. Meskipun guru itu disukai oleh banyak murid, tapi apakah disitu substansi menjadi seorang guru? apakah hanya memiliki kewajiban disukai, atau sekedar naik jabatan? Sama sekali tidak layak apabila guru itu disematkan nama sebagai pengabdi, pahlawan tanpa tanda jasa atau pun orang tua kedua. Sangat tidak substansial pada tupoksi jika syarat mejadi murid hanya membayar buku sebesar 7000 per semester dan kemudian diminta menyimak guru Bahasa Inggris mengaji hingga mata pelajaran berakhir. Katanya, "lks lunas, nilai tuntas."

Sebetulnya, jika diperhatikan kembali, masih banyak sekali guru yang ikhlas ketika mendidik. Mengajar dengan betul-betul menyampaikan ilmu yang diketahuinya kepada para murid. Menghabiskan waktu 2 jam untuk mendidik murid, mengganti dan menyocokan metode dengan kebutuhan para murid, dari duduk hingga berdiri dan duduk lagi dengan mulut yang tidak henti-hentinya menceramah. Berkeliling memutari kelas, mata melirik kanan kiri untuk mengawasi bagaimana kinerja siswa di dalam kelas. Beberapa dari guru ikhlas ini juga menyempatkan waktu di luar jam pelajaran untuk tetap menjalankan perannya menjadi seorang guru. Bahkan sebagian lagi tak risau tentang upah yang akan diterimanya.

Pendidikan sebetulnya bukan membikin seorang murid menjadi pintar, namun mendidik murid untuk bisa selalu berbuat baik dan bermanfaat disekitarnya. Pendidikan awal menjadi murid seharusnya adalah tentang pendidikan budi pekerti, etika, sopan santun terhadap ilmu. Lalu misalnya, kemudian ilmu matematika ditambahkan untuk membantu ayah mengukur dapur, ilmu biologi untuk membantu ibu memasak organ dalam ayam di dapur, ilmu sosiologi membantu pak rt mendamaikan orang bertikai, ilmu geo untuk membantu warga kampung menemukan sumber air atau ilmu fisika guna membangunkan irigasi untuk sawah. Hingga kemudian setelah dasar koherensi antara etika dan ilmu ditemukan, maka berikutnya ketika murid tersebut menjalankan pekerjaannya atau kehidupan sosial, agama dan budanyanya akan dengan mudah-serta dimudahkan. 

Pendidikan tak sepenuhnya salah apabila digunakan untuk mencari rezeki dan menyambung kebutuhan hidup. Waktu yang guru berikan untuk mengajar adalah pantas apabila mendapatkan gantinya. Waktu yang sebetulnya bisa digunakan untuk menjalankan bisnis yang tersingkir harus mendapatkan gantinya. Maka menjadi pantas dan harus, apabila memperhatikan fenomena guru, gaji dan pendidikan ini. Apalagi untuk menjadi seorang guru profesi juga dituntut untuk memiliki pendidikan tinggi S1 / S.Pd dst. Mahasiswa yang lulus kuliah dengan title S.Pd akan melangkah mencari sebuah pekerjaan guru, lalu membicarakan masalah gaji, baru kemudian ia mengajar dan pendidikan bisa berjalan. Atau yang lainya, mahasiswa S.Pd itu akan membicarakan gaji yang cocok dulu hingga ia melangkah untuk mencari profesi guru dengan gaji yang sesuai. Bahkan tidak jarang melihat title S.Pd terpampang di baliho caleg atau mereka memilih menjalankan pekerjaan selain guru. 

Berikutnya, menanyakan kepada diri sendiri tentang bagaiamana proses pendidikan berdampak pada karakter dan emosional diri sendiri?, serta bagaimana anda berdampak pada pendidikan untuk anda sendiri, keluarga, teman dan orang lain?

Posting Komentar untuk "LKS Lunas Nilai Tuntas Bukan Slogan"