Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Perjalanan cerita Anda akan menjadi panjang apabila Anda memiliki catatan dan karya.

Cak Nun, Hujan dan Pentol


"Jika bukan karena cinta, lautan manusia mustahil berkumpul berjam-jam dalam kondisi kehujanan." Sekiranya itulah yang aku pikirkan saat menjadi salah diantara mereka.
Hari itu (Sabtu, 10/9/22) Emha Ainun Najib atau yang dikenal dengan Cak Nun hadir di Bojonegoro. Kutahu masyarakat Bojonegoro akan menyambutnya dengan gembira. Bagaimana tidak, nasihat-nasihat nya yang sering kali muncul lewat Instastory membuat banyak orang jatuh cinta padanya.
Namun cerita mungkin tidak berjalan sesuai harapan. Sejak sore awan gelap tiba menyapa tengah-tengah Bojonegoro dan sekitarnya, yang tidak lama setelah itu hujan pun turun dengan deras. Bersamaan dengan itu, diri ini dan mungkin sebagian lainnya menjadi gelisah.
Bagaikan bilah pisau bermata dua, pingin sekali hadir di majelis tapi hujan sepertinya juga tidak memberikan tanda-tanda reda. Ingin mengeluh juga karena kondisi, tapi sadar bahwa hujan turun juga atas kehendak Allah SWT.
Di hari itu ada momen yang cukup membuatku malu dan tertawa sendiri saat mengingatnya. Setelah hujan yang tadinya deras menjadi gerimis, aku akhirnya berangkat menuju ke Alun-alun. Dalam perjalanan, sesampainya di jalan Diponegoro tepat sebelum pemberhentian lampu merah, hujan kembali turun dengan deras. Hingga sampai tempat tujuan parkir, yaitu di kantor Baznas Bojonegoro, aku cukup basah namun tidak kuyup.
Niat hati ingin sekalian sholat Isya di Masjid Darusallam, aku pun berjalan sambil berdoa agar hujan menjadi reda atau minimal lebih ringan. Namun takdir berkata lain, hujan tidak segera reda malah menjadi deras, dan akhirnya aku meneduh di tempat penjual pentol. Disinilah momen itu terjadi.
Waktu itu ada di penjual pentol aku tidak sendiri, ada beberapa orang lain yang mengantri untuk membeli pentol. Ketika salah satu pembeli menolak sebungkus pentol karena salah si penjual, aku berinisiatif untuk membelinya. Waktu itu ku sampaikan dengan semangat.
"Ndi mas tak tumbas e, aku ya rodok lesu," sahut ku kepada mereka.
Namun kisah tidak begitu mulus, dompet ku tertinggal dan aku hanya membawa beberapa uang receh. Al hasil malu aku dibuatnya. Orang-orang melihat ku tidak dengan sinis, tapi dengan candaan yang renyah. Tapi tetap saja aku malu.
Tak berselang lama, aku berinisiatif meminta pertolongan dari WA story dengan foto penjual pentol dan dengan caption "tulung aku cah, aku tuku pentol tapi dompet e keri".
Naas, itu juga tidak sesuai harapan. Teman-teman hanya menyambut musibah itu dengan komentar saja. Namun meski demikian, pada akhirnya ada juga yang membantuku membayar hutang pentol itu meskipun pentol sudah tidak lagi hangat dan sedap untuk dimakan. Tapi paling tidak pertolongan hadir malam itu.
Hingga akhir, sebenarnya ada sisi baik yang rasanya tak pantas aku terima. Si penjual sebenarnya hendak mengikhlaskan pentolnya ketika aku bayar karena uangnya terlalu besar. Tapi tidak jadi.

Di lain cerita itu, hujan masih terus mengguyur hingga pukul 21.00 wib lebih. Hikmah lain yang aku dapatkan adalah, "Jika bukan karena cinta, lautan manusia mustahil berkumpul berjam-jam dalam kondisi kehujanan." Sekiranya itulah yang aku pikirkan saat menjadi salah diantara mereka.
Malam itu Cak Nun banyak memberikan petuah dan pesan kepada masyarakat Bojonegoro. Tapi pesan-pesan itu mungkin bagi sebagian orang tidak begitu penting, karena sudah banyak sekali pesan-pesan yang berseliweran di media sosial. Namun karena cinta inilah mereka tetap menyaksikan dan mendengarkan petuah Cak Nun yang sudah pernah mereka dengar berkali-kali.
Yang hadir dalam majelis tersebut tidak saja masyarakat Bojonegoro saja, banyak juga yang hadir dari luar kota seperti Lamongan, Gresik dan Jombang.

Posting Komentar untuk "Cak Nun, Hujan dan Pentol"